10 Perjalanan Berbahaya Anak-anak untuk Sekolah

Miris memang, di saat anak-anak yang tinggal di kota-kota besar bermalas-malasan untuk pergi ke sekolah, saudara-saudara kita yang berada di pedalaman berjuang keras demi mendapatkan pendidikan.

Menurut data dari UNESCO, sekitar 57 juta anak-anak di dunia tidak bersekolah. Ada ratusan anak-anak yang tinggal di sudut-sudut paling terpencil di planet ini, yang mempertaruhkan hidup mereka dengan cara yang tidak bisa dibayangkan untuk pergi ke sekolah. 

Dan berikut adalah 10 perjalanan yang mengancam jiwa, yang dilakukan oleh anak-anak demi bisa pergi ke sekolah.

10. Anak-anak dari Meghalaya, India.


Meghalaya dikenal sebagai salah satu tempat paling basah di dunia, wilayah ini menerima 467 curah hujan tinggi setiap tahun. Selama bertahun-tahun, penduduk setempat dan di sekitar desa Mawsynram, menyambung akar pohon karet untuk dijadikan jembatan alami, yang mereka sebut sebagai 'jembatan hidup'. Untuk menuju ke sekolah, anak-anak di sini harus menyeberangi sungai deras dan melewati jembatan akar setiap harinya. Mereka juga memiliki 'tangga hidup' yang mereka buat, untuk membantu penduduk desa menuruni bukit.

9. Anak-anak dari Gulu, China.


Desa pegunungan Gulu terletak di pinggir tebing dari Dadu River Canyon. Bagi anak-anak desa yang ingin bersekolah, mereka harus melalui jalur zigzag berbahaya sepanjang tebing. Bangunan sekolah mereka pun berada dekat dengan tebing ini. Mereka membuat lapangan basket di depan sekolah. Anak-anak yang bermain di sana, tidak memakai jaring basket agar mereka tidak melempar bola, karena bola bisa saja menggelinding turun gunung, dan mereka mungkin akan kehilangan selamanya.

8. Anak dari Zanskar, Himalaya, India.


Untuk bersekolah, anak-anak harus mendaki Pegunungan Himalaya. Hal ini tidak menjadi masalah besar untuk mereka. Kecuali jika lapisan es menipis dan anak-anak berisiko jatuh ke dalam air es dingin di bawahnya. Dan jika itu terjadi, bongkahan es dingin akan merenggut tubuh kecil mereka. Tidak lama setelah mengalami hiperventilasi, tubuh mereka akan tenggelam, tertelan air dan meninggal. Daratan es di sini kasar dan sangat licin. Apabila mereka terguling dapat menyebabkan cedera fatal, namun semua bahaya tersebut tidak menggoyahkan semangat mereka untuk mencari pendidikan.

7. Anak-anak dari Lebak, Banten, Indonesia.


Anak-anak dari desa Sanghiang Tanjung, Indonesia, yang tinggal di sisi Sungai Ciberang harus menyeberangi jembatan rusak setiap hari untuk menuju ke sekolah. Ada jembatan alternatif lain, tapi memerlukan tambahan waktu sekitar 30 menit dengan berjalan kaki untuk mencapainya. Jadi anak-anak lebih memilih menggunakan jembatan tua tanpa alat pengaman sama sekali. Mereka berjalan perlahan-lahan, kadang ada yang berteriak karena sepatu mereka tergelincir. Setelah mendengar kisah anak-anak yang berani mengambil risiko berbahaya untuk pergi ke sekolah dan berita ini tersebar di seluruh negeri, produsen baja terbesar di Indonesia, PT Krakatau Steel maju bersama dengan beberapa LSM untuk membangun jembatan baru untuk mereka.

6. Anak-anak dari New Delhi, India.


Sensus baru-baru ini telah mengungkapkan bahwa India menjadi negara terpadat ke-2 di dunia (setelah China), dengan populasi 1,2 miliar penduduk. PBB memperkirakan bahwa, India bisa menyalip China dalam hal populasi, di tahun 2030. Fakta mengejutkannya adalah penduduk India sekarang, hampir sama dengan gabungan jumlah penduduk dari negara Pakistan, Indonesia, Brasil, Bangladesh, Jepang dan Amerika Serikat. Negara ini sangat penuh sesak dan banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, banyak anak-anak yang menderita. Termasuk menderita dalam hal belajar. Gambar di atas memperlihatkan, bahkan andong yang dinaiki kelebihan beban karena dipenuhi anak-anak yang akan pergi ke sekolah. Jika andong miring sedikit saja atau kehilangan keseimbangan, dapat berakhir menjadi bencana.

5. Anak-anak dari Zhang Jiawan Village, China Selatan.


Di sini, anak-anak harus mendaki sejumlah tangga kayu yang sempit untuk sampai ke sekolah. Untuk sampai ke sekolah, mereka harus melakukan perjalanan berbahaya pada tangga kayu yang sempit setiap hari, tidak ada pengaman yang mereka gunakan sama sekali. Zhang Jiawan Village terletak jauh di pegunungan Badagong dan medan dikelilingi oleh jurang di setiap sisi. Satu-satunya cara lain untuk mencapai sekolah adalah jalan memutar lintas negara, yang akan membutuhkan waktu hingga 4 jam. Meskipun orang tua mereka cemas, tapi mereka ingin anak-anak mereka tetap mendapat pendidikan. Mendapatkan pendidikan melalui tangga reyot dan rapuh merupakan perjuangan yang luar biasa.

4. Anak-anak di Kolombia.


Mereka harus terjun di atas sungai Rio Negro dengan menggunakan kabel baja yang menghubungkan satu lembah ke ujung lembah yang lain. 40 km sebelah tenggara dari ibukota Bogota, terdapat hutan hujan yang hanya ditinggali oleh beberapa keluarga di dalamnya. Kabel baja disambungkan dengan lebar 400 m di atas sungai yang deras dan panjang 800 meter. Fotografer Christoph Otto mengambil gambar dari dua bersaudara (Daisy Mora dan kakaknya Jamid), mereka melakukan zipping dengan kecepatan 50 mil per jam dalam waktu sekitar satu menit. Adik kecilnya yang berusia 5 tahun diletakkan di dalam karung dan keduanya melekat pada katrol. Alat yang digunakan untuk berpegangan adalah cabang pohon layaknya orang primitif. Semua ini tampak seperti lelucon, padahal tidak!

3. Anak-anak dari Cilangkap, Indonesia.


Sejak jembatan di atas Sungai Ciherang rusak, siswa menyeberang menggunakan rakit bambu darurat. Pemerintah tidak membuatkan jembatan baru untuk mereka, tetapi siswa dipaksa untuk mencari alternatif lain untuk dapat menyeberangi sungai. Jembatan sebenarnya sudah runtuh sejak banjir di awal tahun 2013. Dan sejak itu, mereka berangkat ke sekolah dengan perahu yang rapuh dan sempit, di atas sungai yang sangat populer di kalangan turis untuk arung jeram.

2. Mahasiswa Pili, China.


Pada awal masa tugasnya, ada pejabat sekolah yang ditugaskan di sebuah desa yang sangat terpencil untuk mengawal 80 anak sekolah dari desa-desa. Perjalanan yang ditempuh sejauh 125 mil dan mengancam jiwa, karena harus melalui pegunungan Daerah Otonomi Xinjiang Uighur. Beberapa jalur terlihat curam dan hanya berjarak beberapa inci dari gunung. Dibutuhkan waktu dua hari penuh untuk sampai ke asrama. Mereka harus melintasi empat sungai beku, jembatan rantai 650ft dan empat jembatan menakutkan dengan papan tunggal. Dan semua ini, mereka lakukan untuk mendapatkan pendidikan.

1. Anak-anak dari Sumatera, Indonesia.


Bagaimana bisa mereka memiliki keberanian untuk melakukan hal ini? Itulah pertanyaan pertama yang terlintas dalam pikiran kita, ketika seseorang melihat gambar anak-anak yang berkemauan keras untuk meniti secara perlahan seutas tali sepanjang 30 meter di atas sungai yang mengalir. Setelah itu, mereka harus berjalan lagi sejauh tujuh mil melewati hutan untuk bisa sampai di sekolah mereka di kota Padang. Mereka harus menjaga keseimbangan atas tindakan mereka yang berbahaya, dengan memegang kawat baja, sejak hujan deras terakhir menghancurkan jembatan yang ada di sana. Anak-anak pemberani ini siap menghadapi cedera, bahkan kematian jika mereka jatuh dan tenggelam, hanya untuk bisa sampai ke kelas tepat waktu. Mereka kadang-kadang ditemani orang tua, karena mereka takut menyeberangi jembatan jika musim hujan tiba, karena takut tersapu oleh sungai. Tetapi rusaknya jalan menuju kota, memaksa anak-anak untuk menghadapi kematian setiap hari.

Salut untuk perjuangan mereka. Bagaimana menurut teman-teman? Silahkan share di kolom komentar ya.
Selanjutnya
« Next Post
Sebelumnya
Prev Post »